Topik-topik keislaman bisa dibagi menjadi dua bagian: prinsip agama
(ushûluddin selanjutnya ditulis ushuluddin---peny.) dan cabang agama
(furu`uddin). Prinsip agama juga disebut dengan akidah dan cabang agama
disebut dengan tugas atau taklîf. Cabang agama terdiri dari serangkaian
tanggung jawab dan perintah serta larangan yang dibebankan Allah atas
manusia. Cabang agama ini terbagi menjadi tiga bagian: akhlak, ibadah,
hukum dan undang-undang non-ibadah yang juga disebut dengan mu`amalah
(interaksi sosial).
Ushuluddin disebut sebagai fondasi agama dan menyakininya merupakan
kemestian agar seseorang bisa disebut Muslim. Hal-hal yang termasuk
ushuluddin secara umum adalah meyakini keesaan Allah, hari akhir dan
kenabian Nabi Muhammad saw.
Adapun Syi’ah Imamiyah, selain hal-hal di atas, juga menjadikan
imamah sebagai bagian dari ushuluddin yang juga dikenal dengan istilah
ushuluddin maszhab (ushul al-mazhab).
Prinsip-prinsip akidah lazim juga disebut dengan pandangan dunia.
Dengan memiliki pandangan dunia semacam ini, seseorang merasa
bertanggungjawab terhadap Sang Pencipta dan menerima semua tugas yang
dibebankan oleh-Nya supaya ia memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.
Hukum dan tugas-tugas ini kadang disebut dengan ideologi.
Masalah-masalah akidah sendiri terbagi menjadi dua bagian: pokok dan
cabang. Maksud pokok-pokok akidah adalah hal-hal yang harus diyakini
seseorang hingga ia bisa disebut Muslim, seperti tauhid, hari akhir dan
kenabian.
Sedangkan cabang-cabang akidah adalah perkara-perkara turunan dari
pokok-pokok akidah, semisal sifat-sifat positif (tsubût) dan negatif
(salbi) Allah, kemaksuman para nabi, syafaat, alam barzakh, cara
kebangkitan makhluk-makhluk yang telah mati dan lain sebagainya.
Peran Akidah dalam Kebahagiaan Manusia
Dari berbagai sisi, pandangan dunia dan prinsip-prinsip agama berperan dalam mewujudkan kebahagiaan bagi manusia, karena:
a) Perintah dan larangan dari Allah yang mengatur hidup manusia dan bersumber dari pandangan dunia dan keyakinan khasnya.
b) Mendapatkan pengetahuan dan mengenal hakikat, khususnya
mengenal Tuhan, memiliki nilai spiritual dari sudut pandang Islam,
bahkan dianggap sebagai bentuk ibadah yang terbaik dan mampu mendekatkan
makhluk kepada Sang Penciptanya. Ilmu dan pengetahuan berpengaruh
langsung dalam jiwa manusia dan mengantarkannya menuju kesempurnaan.
Oleh karena itu, al-Quran dan hadis menyebut ilmu sebagai suatu norma yang agung dan bentuk ibadah kepada Allah:
Al-Quran mengatakan, Allahlah yang telah menciptakan tujuh langit dan
(juga) bumi sepertinya. Perintah Allah turun di antara langit dan bumi
supaya kalian tahu bahwa Ia berkuasa atas segalanya dan mengetahui semua
hal. [1]
Allah juga berfirman, Allah akan mengangkat kedudukan orang-orang
beriman di antara kalian dan mereka yang berilmu beberapa derajat. Allah
mengetahui semua yang kalian lakukan. [2]
Amirul Mukminin as berkata, “Wahai kaum mukmin! Ilmu dan adab adalah
nilai bagi jiwa kalian. Sebab itu, kerahkan usahamu dalam mencari ilmu.
Setiap kali ilmu dan adabmu bertambah, maka kedudukan dan nilaimu juga
akan bertambah tinggi, karena engkau akan terbimbing menuju Tuhanmu.
Dengan adab yang kau miliki, engkau bisa melayani Tuhanmu dengan lebih
baik. Hamba yang beradab layak untuk menjadi wali dan dekat dengan
Allah. Terimalah nasehat ini sehingga engkau selamat dari azab Allah.”
[3]
Imam Shadiq as berkata, “Ibadah terbaik adalah mengenal Allah dan tunduk di hadapan-Nya.” [4]
Hisyam bin Hakam menukil ucapan Imam Musa bin Jafar as kepadanya,
“Wahai Hisyam! Allah tidak mengutus para nabi as kecuali supaya umat
manusia mengenal diri-Nya. Barang siapa yang memiliki ilmu lebih baik,
maka ia lebih mudah menerima seruan Allah. Orang yang paling mengetahui
perkara Allah adalah mereka yang memiliki daya pikir lebih baik.
Orang-orang yang berakal sempurna akan memiliki derajat lebih tinggi di
dunia dan akhirat.” [5]
c. Iman kepada Allah berperan penting dalam mewujudkan sifat ikhlas
yang merupakan salah satu syarat ibadah dan faktor utama terciptanya
kedekatan dengan Allah. Bila seseorang tidak memiliki iman kepada Allah
dan tidak beramal untuk-Nya, maka ia tidak akan mendapatkan pahala
akhirat.
Sarana-sarana Pengetahuan
Islam menyatakan bahwa manusia bisa memperoleh ilmu dan pengetahuan.
Sebab itu, al-Quran menyeru manusia untuk merenungi keajaiban-keajaiban
bumi, langit, gunung, lautan, pepohonan, hewan, matahari, fenomena siang
dan malam serta hal-hal lain di alam semesta. Apabila manusia tidak
bisa mendapatkan pengetahuan, maka seruan untuk berpikir dan merenung
akan menjadi sia-sia.
Sekarang, kami akan menyebutkan sarana-sarana pengetahuan bagi manusia:
1. Indra: Dengan indra penglihat, pendengar, perasa, pencium dan peraba yang dimilikinya, manusia dapat berhubungan dengan alam sekitarnya dan mengetahui berbagai hal. Tentu, pancaindra ini hanya dapat menjangkau hal-hal materi dan tidak dapat digunakan untuk mengetahui hal-hal non-materi seperti melihat malaikat dan Allah secara langsung, meski indra-indra ini bisa dijadikan perantara untuk mengenal Allah.
2. Hati dan akal: Jalan terbaik untuk mengenal hakikat dan memperoleh keyakinan adalah menggunakan akal dan argumentasi rasional. Al-Quran menyeru manusia untuk merenungi keajaiban penciptaan semesta hingga ia dapat mengenal Allah dan kekuasaan-Nya.
1. Indra: Dengan indra penglihat, pendengar, perasa, pencium dan peraba yang dimilikinya, manusia dapat berhubungan dengan alam sekitarnya dan mengetahui berbagai hal. Tentu, pancaindra ini hanya dapat menjangkau hal-hal materi dan tidak dapat digunakan untuk mengetahui hal-hal non-materi seperti melihat malaikat dan Allah secara langsung, meski indra-indra ini bisa dijadikan perantara untuk mengenal Allah.
2. Hati dan akal: Jalan terbaik untuk mengenal hakikat dan memperoleh keyakinan adalah menggunakan akal dan argumentasi rasional. Al-Quran menyeru manusia untuk merenungi keajaiban penciptaan semesta hingga ia dapat mengenal Allah dan kekuasaan-Nya.
Al-Quran berkata, Katakanlah: Lihatlah semua yang ada di langit dan
bumi, namun tanda-tanda (kekuasan Allah) dan peringatan-peringatan tidak
akan berguna bagi orang-orang yang tidak beriman. [6]
Dalam al-Quran juga disebutkan, Mengapa mereka tidak berkeliling di
bumi sehingga mereka memiliki hati yang dapat digunakan untuk berpikir
dan telinga yang dapat digunakan untuk mendengar. Sesungguhnya mata
mereka tidak buta, tapi hati merekalah yang buta. [7]
Al-Quran tidak hanya menyeru manusia untuk berpikir dan menggunakan
akal mereka, bahkan dalam beberapa tempat, al-Quran juga berargumentasi.
Misalnya, al-Quran menyatakan, Apabila di antara langit dan bumi ada
tuhan-tuhan selain Allah, niscaya keduanya akan hancur dan binasa.
Mahasuci Allah pemilik `arsy dari sifat-sifat yang mereka berikan
kepada-Nya. [8]
Ia juga mengatakan, Allah tidak memiliki anak dan tiada tuhan selain
Dia. Bila ini terjadi, maka masing-masing tuhan akan pergi ke suatu arah
bersama makhluk-makhluknya dan akan mencoba mengungguli tuhan-tuhan
lain. Mahasuci Allah dari sifat-sifat yang mereka berikan kepada-Nya.
[9]
Rasulullah saw dan para Imam as juga termasuk orang-orang yang
menggunakan argumentasi. Terkadang mereka menggunakan argumentasi
rasional untuk membuktikan salah satu prinsip agama. Mereka tidak
memerintahkan para penentang untuk berdiam diri, bahkan berusaha
membuktikan kebenaran dengan jalan argumentasi. Argumentasi-argumentasi
Rasulullah saw dan para Imam as tercatat dalam sejarah.
Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa Islam adalah agama logika dan
argumentasi. Islam menerima akal sebagai salah satu sarana pengetahuan
dan menyeru para pengikutnya untuk menggunakan akal mereka. Tentunya,
penggunaan akal yang benar memiliki syarat-syarat khas dan juga harus
digunakan dalam batasan tertentu.
3. Penyucian jiwa dan batin: Salah satu jalan mengenal hakikat adalah penyucian jiwa dan batin manusia. Sehubungan dengan ini disebutkan: Jiwa manusia adalah sebuah hakikat malakuti dan non-materi yang berpotensi menjangkau alam gaib tanpa melalui jalan akal. Penghalang pengetahuan semacam ini adalah noda dosa dan keterikatan duniawi dalam jiwa manusia. Sebab itu, bila manusia meningkatkan ketakwaannya, menyucikan dirinya dari dosa, mengurangi keterikatannya dengan materi dan menyinari jiwanya dengan zikir dan ibadah kepada Allah, ia akan mendapat taufik dari Allah untuk mengetahui hakikat. Para ulama berpedoman dengan ayat dan riwayat untuk membuktikan kebenaran sarana pengetahuan semacam ini.
3. Penyucian jiwa dan batin: Salah satu jalan mengenal hakikat adalah penyucian jiwa dan batin manusia. Sehubungan dengan ini disebutkan: Jiwa manusia adalah sebuah hakikat malakuti dan non-materi yang berpotensi menjangkau alam gaib tanpa melalui jalan akal. Penghalang pengetahuan semacam ini adalah noda dosa dan keterikatan duniawi dalam jiwa manusia. Sebab itu, bila manusia meningkatkan ketakwaannya, menyucikan dirinya dari dosa, mengurangi keterikatannya dengan materi dan menyinari jiwanya dengan zikir dan ibadah kepada Allah, ia akan mendapat taufik dari Allah untuk mengetahui hakikat. Para ulama berpedoman dengan ayat dan riwayat untuk membuktikan kebenaran sarana pengetahuan semacam ini.
Al-Quran mengatakan, Demi jiwa dan penyempurnaan ciptaan-Nya,
kemudian Allah mengilhamkan jalan kefasikan dan ketakwaan kepada jiwa.
Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwanya dan sungguh merugi orang
yang mengotorinya. [10]
Juga, Wahai orang-orang beriman, bila kalian bertakwa kepada Allah,
maka Ia akan memberi kalian pengetahuan terhadap kebenaran, menutupi
keburukan kalian dan mengampuni dosa kalian. Sesungguhnya Allah memiliki
karunia dan keutamaan yang agung. [11]
Oleh karena itu, penyucian jiwa adalah hal terpuji yang memberikan
kebahagiaan dan kesempurnaan kepadanya. Bila seseorang bertakwa dan
membersihkan dirinya dari noda dosa, ia akan sampai ke sebuah derajat di
mana ia dapat mengetahui hakikat dan membedakan kebenaran dari
kebatilan.
Rasulullah saw bersabda, “Barang siapa yang berbuat ikhlas
siang-malam selama empat puluh hari, niscaya mata air hikmah dari
hatinya akan mengalir dalam lisannya.” [12]
Amirul Mukminin as berkata, “Hati suci hamba-hamba Allah akan
mendapat perhatian dari-Nya. Sebab itu, barang siapa yang menyucikan
hatinya, maka Allah akan memperhatikannya.” [13]
Beliau juga berkata, “Sungguh beruntung orang yang hanya beribadah
dan berdoa demi Allah, tidak menyibukkan hatinya dengan apa yang dilihat
matanya, tidak melupakan Allah dengan apa yang didengar telinganya dan
tidak bersedih dengan kenikmatan yang diberikan kepada orang selain
dirinya.” [14]
Sayyidah az-Zahra as mengatakan, “Orang yang mengirimkan ibadah yang
dilakukannya dengan ikhlas kepada Allah, akan mendapat maslahat
terbaiknya dari Allah.” [15]
Dari rangkaian ayat dan riwayat di atas, bisa disimpulkan bahwa jalan
memperoleh pengetahuan tidak terbatas pada argumentasi rasional saja,
bahkan ada jalan lain berupa penyucian jiwa dari dosa dan sifat tercela
serta kesungguhan dalam beribadah dengan ikhlas. Melalui jalan ini,
manusia juga dapat memperoleh pengetahuan.
Sebagian wali-wali Allah dan hamba-hamba yang dekat dengan-Nya telah
menempuh jalan ini demi memperoleh keyakinan dan pengetahuan. Namun,
menempuh jalan ini sukar dan tidak bisa dilakukan sembarang orang,
karena ia memerlukan jihad melawan hawa nafsu.
4. Pemberitahuan para nabi dan Imam as: Meskipun Islam menyeru para pengikutnya menggunakan akal dan menyebutnya sebagai sebuah nilai besar, namun metode dakwah para nabi as tidak hanya bertumpu pada argumentasi rasional. Bahkan, seringkali mereka memanfaatkan kejujuran dan perangai baik mereka untuk meyakinkan umat manusia. Ketika Nabi Besar Islam bersabda kepada orang-orang, “Aku menyeru kalian untuk beriman dengan Allah dan tauhid, hidup kalian tidak akan berakhir dengan kematian, namun kalian pergi menuju dunia lain untuk mendapatkan ganjaran amal baik dan buruk kalian”, kebanyakan mereka menerima sabda beliau. Walau dakwah Rasulullah saw sering tidak disertai argumentasi, namun sabda beliau mampu meyakinkan umatnya. Tentu, tidak berarti bahwa iman semacam ini tidak sempurna atau tak berdasar sama sekali, bahkan terkadang ia lebih kokoh dari iman yang terwujud melalui jalan argumentasi.
4. Pemberitahuan para nabi dan Imam as: Meskipun Islam menyeru para pengikutnya menggunakan akal dan menyebutnya sebagai sebuah nilai besar, namun metode dakwah para nabi as tidak hanya bertumpu pada argumentasi rasional. Bahkan, seringkali mereka memanfaatkan kejujuran dan perangai baik mereka untuk meyakinkan umat manusia. Ketika Nabi Besar Islam bersabda kepada orang-orang, “Aku menyeru kalian untuk beriman dengan Allah dan tauhid, hidup kalian tidak akan berakhir dengan kematian, namun kalian pergi menuju dunia lain untuk mendapatkan ganjaran amal baik dan buruk kalian”, kebanyakan mereka menerima sabda beliau. Walau dakwah Rasulullah saw sering tidak disertai argumentasi, namun sabda beliau mampu meyakinkan umatnya. Tentu, tidak berarti bahwa iman semacam ini tidak sempurna atau tak berdasar sama sekali, bahkan terkadang ia lebih kokoh dari iman yang terwujud melalui jalan argumentasi.
Dengan kepercayaan mereka terhadap Rasulullah saw, mereka tunduk di
hadapan berita-berita dari beliau dan meyakini kebenarannya. Tentu saja
bila ada orang atau kelompok yang meminta dalil, maka beliau dengan
senang hati memberi jawaban rasional kepada mereka, bahkan mendorong
mereka melakukan hal ini. Namun, pada umumnya, metode beliau tidak
seperti ini.
Oleh karena itu, metode di atas juga bisa disebut sebagai salah satu
sarana memperoleh pengetahuan dan keimanan yang juga digunakan para nabi
as.
5. Doktrin orangtua dan guru: Iman yang dimiliki sebagian besar manusia diperoleh dari doktrin orangtua atau guru mereka. Para pendidik mengenalkan anak-anak firman Allah, kemudian mengajarkan prinsip-prinsip agama secara sederhana kepada mereka. Setelah itu, mereka diminta menghapalkannya dan mendapat pujian bila berhasil melakukannya. Lalu, mereka mengajarkan bacaan surah al-Fatihah dan surat-surah lain, cara berwudhu dan shalat. Secara bertahap, anak-anak itu meyakini keberadaan Allah, nabi dan hari akhir dan tumbuh besar dengan keyakinan ini. Membaca buku dan ajaran-ajaran agama juga akan memperkuat iman mereka. Meski sebagian dari mereka ketika menginjak usia dewasa berupaya memperkokoh iman dengan cara argumentasi rasional, namun sebagian besar mereka merasa cukup dengan kualitas iman masa kecil mereka. Ini bukan sesuatu yang perlu dipermasalahkan, karena syarat terwujudnya iman adalah keyakinan dan orang-orang semacam ini memiliki keyakinan tersebut.
5. Doktrin orangtua dan guru: Iman yang dimiliki sebagian besar manusia diperoleh dari doktrin orangtua atau guru mereka. Para pendidik mengenalkan anak-anak firman Allah, kemudian mengajarkan prinsip-prinsip agama secara sederhana kepada mereka. Setelah itu, mereka diminta menghapalkannya dan mendapat pujian bila berhasil melakukannya. Lalu, mereka mengajarkan bacaan surah al-Fatihah dan surat-surah lain, cara berwudhu dan shalat. Secara bertahap, anak-anak itu meyakini keberadaan Allah, nabi dan hari akhir dan tumbuh besar dengan keyakinan ini. Membaca buku dan ajaran-ajaran agama juga akan memperkuat iman mereka. Meski sebagian dari mereka ketika menginjak usia dewasa berupaya memperkokoh iman dengan cara argumentasi rasional, namun sebagian besar mereka merasa cukup dengan kualitas iman masa kecil mereka. Ini bukan sesuatu yang perlu dipermasalahkan, karena syarat terwujudnya iman adalah keyakinan dan orang-orang semacam ini memiliki keyakinan tersebut.
Jelas bahwa iman yang berlandaskan pada argumentasi lebih tinggi dari
iman yang hanya berasaskan doktrin semata. Namun bukan berarti bahwa
iman yang tidak bersumber dari argumentasi tidak memiliki nilai sama
sekali.
Apabila seseorang ragu terhadap salah satu prinsip akidah, maka ia
harus mencari jawabannya secara rasional dan meneguhkan imannya. Tidak
layak bila ia bersikap acuh dalam kondisi semacam ini.
Adapun dalam masalah-masalah sekunder (furu`), dalil-dalil zhanni
(benar dan salah 50:50) semisal khabar wahid [16] sudah cukup, walau
kajian yang berasaskan argumentasi dalam masalah-masalah ini, bila
mungkin, lebih diutamakan ketimbang sekedar bertumpu pada dalil-dalil
zhanni.
Kedudukan Wilayah dalam Islam
Mengingat bahwa wilayah dalam Islam memiliki peran penting dan fundamental, maka kita akan membahasnya secara ringkas.
Dalam berbagai riwayat, wilayah disebut sebagai salah satu fondasi
penting Islam. Imam Baqir as berkata, “Islam dibangun di atas lima
fondasi: Shalat, zakat, puasa, haji dan wilayah. Islam tidak pernah
menyeru manusia kepada sesuatu seperti ketika ia menyeru mereka untuk
berwilayah.” [17]
Dalam riwayat lain, Zurarah berkata, “Aku bertanya kepada Imam Baqir
as, ‘Manakah yang paling utama di antara lima hal ini?’ Beliau menjawab,
‘Wilayah lebih utama dibanding lainnya, karena ia adalah kunci empat
fondasi lain. Wali adalah pembimbing manusia kepada empat perkara
tersebut.’” [18]
Makna wilayah adalah mengurus dan memegang perkara orang lain. Kata
wâli disematkan kepada orang yang memegang perkara seseorang atau lebih,
seperti wali anak kecil atau wali orang gila. Kata “wâli” juga diambil
dari akar kata ini. Pemimpin, walikota atau gubernur juga disebut dengan
wâli karena mereka memegang urusan warga dan warga harus menaati
perintah pemimpin mereka. Dengan makna ini, Nabi juga disebut memiliki
wilayah atas umatnya, karena beliau memegang urusan dan kuasa atas
mereka. Allah berfirman dalam al-Quran, Nabi lebih utama dibandingkan
orang-orang beriman dalam mengurus segala hal yang berkaitan dengan
mereka. [19]
Kata mawlâ juga berasal dari akar kata yang sama. Sebab itu, dalam
permulaan khotbah Ghadir, Rasulullah saw bersabda, “Bukankah aku lebih
utama dibanding kalian dalam urusan-urusan kalian?” Orang-orang
menjawab, “Ya, benar.” Lalu beliau bersabda, “Barang siapa yang
menjadikanku sebagai pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya.” [20]
Umar bin Khaththab yang hadir dalam peristiwa Ghadir dan menyaksikan
penobatan Imam Ali as sebagai pemimpin, juga memahami makna di atas.
Maka itu, ia berkata kepada Imam Ali as, “Selamat kepadamu wahai Ali,
engkau telah menjadi pemimpin bagi setiap pria dan wanita beriman.” [21]
Dari sini, kita bisa menyimpulkan bahwa wilayah adalah sebuah kedudukan ekskutif, bukan sekedar kedudukan suci belaka.
Wilayah di Masa Rasulullah
Sekarang, pertanyaan yang terlontar adalah: Bagaimana kondisi sosial
kaum Muslim ketika Rasulullah saw masih hidup? Apakah mereka hidup tanpa
seorang pemimpin dan manajemen sosial? Atau, adakah sebuah keteraturan
dan kekuasaan meski hanya dalam lingkup terbatas dan berupa pemberlakuan
undang-undang sederhana? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus
melihat hukum dan undang-undang Islam secara singkat.
Secara keseluruhan, hukum-hukum Islam yang termaktub dalam al-Quran dan Sunnah dibagi menjadi dua bagian:
a. Hukum dan undang-undang individual seperti shalat, puasa, haji,
menjaga akhlak mulia, menjauhi akhlak tercela, bersuci dan hukum-hukum
individual lainnya.
Hukum-hukum semacam ini adalah tugas-tugas individual dan ditujukan
kepada mukallaf secara perorangan. Untuk melaksanakan tugas-tugas di
atas, keberadaan sebuah pemerintahan dan manajemen sosial tidak
dibutuhkan.
b. Hukum dan undang-undang sosial-politik seperti jihad dalam
menyebarkan agama Islam, membela Islam dan Muslimin, persiapan militer,
mewujudkan keamanan sosial, pengadilan, pelaksanaan had [22], diyat atau
qishash, ta`zir, hubungan negara-negara Islam satu sama lain, hubungan
dengan negara asing, menarik zakat dan menggunakannya dalam hal-hal
tertentu, mengambil khumus dan puluhan perkara sosial lainnya. Dengan
mudah kita bisa memahami bahwa pelaksanaan hukum-hukum ini memerlukan
keberadaan sebuah struktur tertentu yang dipimpin oleh seorang pemimpin
agamis dan bijak.
Maka itu, bisa dikatakan bahwa pemerintahan dan wilayah
(kepemimpinan) ada dalam konteks agama. Harus ada seorang pemimpin yang
menjamin pelaksanaan hukum-hukum sosial-politik ini. Bila tidak, maka
sebagian besar hukum-hukum Islam tidak bisa diberlakukan.
Rasulullah saw; Pemimpin (Wali al-Amr) Pertama Muslimin
Meski tidak ada ayat al-Quran yang secara gamblang memerintahkan
Rasulullah saw mendirikan pemerintahan, namun al-Quran memerintahkan
beberapa hal kepada beliau yang semuanya berhubungan dengan
pemerintahan. Sebagai contoh, ayat-ayat berikut bisa dijadikan bukti
klaim ini:
Kami turunkan al-Quran kepadamu dengan (membawa) kebenaran supaya
engkau menjadi hakim di antara manusia dengan apa yang telah ditunjukkan
Allah kepadamu. Dan janganlah engkau mendukung pengkhianat. [23]
Kami turunkan kitab ini dengan (membawa) kebenaran kepadamu. Kitab
ini mendukung kitab-kitab sebelumnya dan menjadi tolok ukur kebenaran
kitab-kitab tersebut. Maka, hakimilah antara mereka dengan apa yang
diwahyukan kepadamu dan jangan ikuti hawa nafsu mereka untuk berpaling
dari perintah yang diberikan kepadamu. [24]
Wahai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan munafik dan bersikaplah keras terhadap mereka. [25]
Wahai Nabi, doronglah orang-orang beriman untuk berperang. [26]
Ambillah zakat dari harta mereka yang dengannya engkau bisa menyucikan dan membersihkan mereka. [27]
Jelas bahwa memecahkan persoalan masyarakat, mendorong mereka
berjihad, menarik zakat dan memberikannya kepada yang berhak adalah
bagian dari tugas seorang penguasa dan pemimpin. Karena Nabi diminta
melaksanakan hal-hal di atas, berarti beliau diangkat sebagai pemimpin
oleh Allah. Sebab itu, kita harus mengatakan bahwa Nabi saw selain
menerima wahyu dan menyampaikannya kepada manusia, beliau juga mengemban
tugas lain, yaitu mendirikan pemerintahan, memberlakukan undang-undang
politik-sosial dan mengatur kehidupan umat Islam dalam berbagai bidang.
Dalam mengatur urusan pemerintahan Islam, Nabi saw menggunakan hukum
dan undang-undang yang diterimanya melalui wahyu. Di samping itu, beliau
memiliki ikhtiar untuk membuat dan memberlakukan hukum-hukum tertentu
sesuai dengan kondisi dan maslahat umat Islam. Hukum-hukum semacam ini
disebut dengan hukum pemerintahan (hukumati) dan Muslimin harus
menaatinya.
Al-Quran mengatakan, Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah,
Rasul dan para pemimpin kalian (ulil amr). Bila kalian berselisih dalam
suatu perkara, merujuklah kepada Allah bila kalian benar-benar beriman
kepada Allah dan Hari Akhir. Ini adalah yang terbaik bagi kalian dan
membawa manfaat. [28]
Dari ayat di atas, kita menyimpulkan bahwa orang-orang beriman harus
menaati Allah Swt, Rasulullah saw dan Ulil Amr. Mereka harus taat kepada
Allah, dengan menaati Rasul ketika Rasul saw menyampaikan sebuah hukum
yang diterimanya melalui wahyu kepada manusia. Mereka harus mematuhi
Rasullah saw ketika beliau mengeluarkan sebuah hukum dalam kapasitasnya
sebagai hakim syar`i dan pemimpin, bukan sebagai penerima wahyu.
Hukum-hukum semacam ini disebut dengan hukum hukumati atau wilai.
Berikutnya adalah ketaatan kepada Ulil amr. Mereka adalah orang-orang
yang diangkat Rasul saw sebagai pemimpin dan pemegang kendali urusan
umat.
Dalam banyak hadis, para Imam Ahlulbait as dinyatakan sebagai
representasi Ulil amr tersebut. Mereka juga memegang kendali urusan umat
dan wajib ditaati. Dengan merujuk kitab-kitab sirah, kita bisa
mengetahui bahwa semenjak berhijrah ke Madinah, Rasulullah saw telah
menyadari pentingnya membentuk sebuah pemerintahan yang bisa melindungi
kepentingan Islam dan Muslimin. Setiap kali ada kesempatan, beliau
mengambil langkah-langkah yang diperlukan. Dalam rentang waktu sepuluh
tahun di Madinah, secara bertahap Rasul saw telah melakukan hal-hal yang
dibutuhkan dalam membentuk sebuah pemerintahan dan mengatur sebuah
komunitas terbatas, walau dengan bentuk sederhana. Sebagai contoh, kami
akan menyebut beberapa langkah yang dilakukan beliau:
Memilih menteri dan konsultan, memilih dan mengangkat gubernur
kota-kota besar dan kecil, memilih hakim, mendirikan mahkamah,
menentukan beberapa orang sebagai pelaksana had (hukuman), membangun
penjara dan mengangkat sipir, memilih wakil dari tiap suku, memilih
orang-orang yang bertugas sebagai informan, mengangkat para pelaksana
nahi mungkar, mengadakan kelas pembelajaran al-Quran, kaligrafi dan
fikih, memilih para penulis al-Quran, penulis surat, mengangkat petugas
penarik zakat dan pajak, bendahara atau pengurus Baitulmal, petugas
pembagi gaji, mengangkat komandan pasukan, pemegang panji perang,
pengurus senjata, penjaga, petugas pengawas transaksi pasar dan puluhan
tugas besar atau kecil lainnya. [29] Jelas bahwa tugas-tugas semacam ini
berhubungan dengan pemerintahan. Maka itu, kita tidak boleh meragukan
tugas Rasulullah saw sebagai penguasa dan pemimpin sebuah negara. Beliau
adalah wali al-amr pertama kaum Muslim dan peletak batu pertama
pemerintahan Islam. Wilayah beliau bersumber dari wahyu dan al-Quran.
Patut diperhatikan bahwa meskipun maqam wilayah dan kepemimpinan ini
diberikan Allah kepada beliau, namun ia tidak akan terwujud di luar
tanpa adanya keinginan, pengorbanan dan penyediaan lahan pemerintahan
oleh umat.
Atas dasar ini, tanggung jawab pelaksanaan hukum sosial-politik Islam
dalam al-Quran dibebankan langsung di atas pundak kaum Muslim.
Misalnya, Allah berfirman, Berjihadlah di jalan Allah. [30]
Perangilah orang-orang yang memerangi kalian, namun jangan sampai kalian bertindak melampaui batas. [31]
Berperanglah kalian semua dengan orang-orang musyrik sebagaimana mereka semua memerangi kalian. [32]
Siapkanlah kekuatan dan kuda tunggangan semampu kalian sehingga
membuat takut musuh Allah dan musuh kalian yang tidak kalian kenal, tapi
Allah mengenal mereka. Semua yang kalian kerahkan di jalan Allah akan
dikembalikan kepada kalian. Kalian tidak akan pernah dizalimi. [33]
Potonglah tangan pencuri, baik pria atau wanita sebagai balasan perbuatan mereka dan hukuman dari Allah. [34]
Cambuklah pria dan wanita penzina masing-masing sebanyak delapan puluh kali. [35]
Di antara kalian harus ada sekelompok orang yang menyerukan dan memerintahkan kebaikan serta mencegah kemungkaran. [36]
Wahai orang-orang yang beriman, berjuanglah untuk menegakkan keadilan dan berilah kesaksian kepada Allah. [37]
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian berteman dengan
orang-orang kafir sebagai ganti orang-orang mukmin. Apakah kalian ingin
memberikan hujjah yang nyata kepada Allah (saat menghukum kalian)? [38]
Wahai orang-orang yang beriman, jangan bersahabat dengan orang-orang
Yahudi dan Nasrani. Sebagian mereka adalah sahabat sebagian yang lain.
[39]
Kalian adalah umat terbaik yang pernah muncul dari kalangan manusia,
kalian memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran serta beriman
kepada Allah. [40]
Dari ayat-ayat di atas ada hal-hal yang berkaitan dengan kewajiban
jihad dan membela diri, persiapan militer, pelaksanaan had dan ta`zir,
amar makruf dan nahi mungkar, keharusan menegakkan keadilan sosial dan
hubungan antar Muslim dengan selain mereka serta puluhan hadis tentang
masalah pengadilan, politik, militer, ekonomi, pengembangan ilmu,
penyebaran nilai-nilai Islam dan pemberantasan dekadensi moral, kita
bisa menyimpulkan bahwa Allah memandang kaum Muslim sebagai sebuah
kesatuan yang harus membentuk lembaga-lembaga tertentu demi mengatur
kehidupan sosial-politik mereka. Karena secara praktis kaum Muslim
menerima Rasulullah saw sebagai pemimpin mereka, beliau mendapat
kesempatan untuk membentuk pemerintahan.
Kepemimpinan Pasca Rasulullah saw
Meski wahyu (hubungan langsung dengan Allah dan penerimaan hukum)
berakhir dengan wafatnya Rasul saw dan agama Islam telah mencapai tahap
kesempurnaannya, namun mengingat bahwa Rasulullah saw adalah nabi
terakhir dan Islam adalah agama universal yang harus tetap ada hingga
akhir zaman, maka harus ada seorang manusia istimewa yang memikul
tanggung jawab beliau dan mewujudkan tujuan-tujuannya. Ia disebut dengan
khalifah Nabi atau Imam Muslimin.
Rasul saw memiliki empat tanggung jawab:
1.Menerima hukum dan firman Allah melalui wahyu.
2. Menyampaikan firman Allah kepada manusia.
3. Menjaga hukum-hukum Allah.
4. Membentuk pemerintahan dan melaksanakan hukum-hukum sosial-politik Islam.
Dalam semua tanggung jawab di atas, Rasulullah saw maksum dan terjaga
dari dosa dan kekeliruan. Dalam buku-buku teologi telah dibuktikan
bahwa khalifah beliau juga harus terjaga dari dosa, kesalahan dan lupa
sehingga ia bisa mewujudkan tujuan-tujuan Rasulullah saw dan melindungi
Islam.
Dengan mempertimbangkan keharusan syarat kemaksuman pada diri
khalifah, Syiah Imamiyah mengatakan: Selain Rasulullah saw, tidak ada
orang yang layak menentukan dan mengangkat khalifah, karena manusia
maksum hanya bisa dikenali oleh seseorang yang berhubungan langusng
dengan Allah melalui wahyu.
Berasaskan dalil ini dan bukti-bukti sejarah serta puluhan riwayat
yang termaktub dalam literatur-literatur hadis, mereka berpendapat bahwa
Rasulullah saw pasti tidak lalai untuk menentukan penggantinya, karena
beliau sangat memperhatikan kejayaan Islam dan penyebarannya di dunia.
Seperti yang ditunjukkan bukti-bukti sejarah dan hadis-hadis, semasa
hidupnya Rasulullah saw selalu memberi perhatian khusus terhadap masalah
penting ini dan menentukan Ali bin Abi Thalib as sebagai pengganti
beliau. Rasulullah saw mendidik Ali dan mengajarkan berbagai ilmu
kepadanya. Berkat taufik dari Allah dan bakat alami yang dimilikinya,
Imam Ali as mencerna semua yang diajarkan Rasulullah saw dan tidak
melupakannya.. Di samping itu, Rasul saw memerintahkannya untuk menulis
semua ilmu yang dipelajarinya supaya dijadikan bekal bagi imam-imam
setelahnya.
Dengan perhatian yang diberikan Rasul saw kepadanya, Imam Ali as
menjadi khazanah ilmu-ilmu kenabian seperti yang pernah disabdakan Rasul
saw, “Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah pintunya. Barang siapa yang
menginginkan ilmu, hendaknya ia datang melalui pintunya.” [41]
Riwayat-riwayat senada juga banyak disebut dalam kitab-kitab Syiah dan
Ahlussunnah.
Tujuan Rasul saw menyebut keutamaan-keutamaan Imam Ali as adalah
mempersiapkan opini umum untuk menerima pengangkatannya sebagai khalifah
dan imam Muslimin. Beliau senantiasa menunggu waktu yang tepat untuk
mengumumkan hal ini secara resmi.
Kondisi demikian terus berlanjut hingga tahun sepuluh Hijriyah. Pada
tahun tersebut, Rasul saw berniat melakukan haji. Beliau mengundang
semua Muslim untuk pergi haji bersamanya sehingga mereka dapat
mempelajari manasik haji secara langsung. Rasulullah saw berniat
mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai pengganti beliau pada saat yang
tepat dan mengenalkannya kepada para peziarah Baitullah yang datang dari
segala penjuru. Singkat kata, manasik haji berakhir dan masing-masing
peziarah pulang menuju daerah mereka. Ketika Rasulullah saw dan
rombongan sampai di Ghadir Khum menjelang siang dan di bawah terik
matahari, Jibril membawa ayat berikut kepada Rasul saw, Wahai Nabi,
sampaikanlah apa yang diturunkan oleh Allah atasmu kepada orang-orang.
Bila engkau mengabaikannya, berarti engkau tidak melaksanakan
risalah-Nya. Allah akan menjagamu dari persekongkolan manusia.
Sesungguhnya Ia tidak memberi hidayah kepada orang-orang kafir. [42]
Beliau lalu singgah di tempat tersebut dan memerintahkan rombongan
bersiap-siap melakukan shalat Dzuhur. Semua peziarah lalu berkumpul di
Ghadir Khum. Setelah shalat, Rasul saw naik mimbar dan menyampaikan
khotbah panjang yang kelak dikenal dengan hadis Ghadir Khum. Khotbah ini
dinukil dengan beberapa versi dalam literatur terpercaya Syi’ah dan
Ahlussunnah. Berikut salah satu versi khotbah beliau di Ghadir Khum:
Zaid bin Arqam berkata, “Sekembalinya Rasulullah saw dari haji Wada`,
beliau singgah di Ghadir Khum. Pertama-tama beliau memerintahkan kami
untuk membersihkan bagian bawah pepohonan dari semak-semak. Kemudian,
beliau naik mimbar dan bersabda, ‘Sepertinya aku akan segera dipanggil
menemui Tuhanku. Aku meninggalkan dua perkara berharga di antara kalian
yang salah satunya lebih mulia dari lainnya. Keduanya adalah kitab Allah
dan keluargaku. Bersungguh-sungguhlah dalam menjaga kedua amanahku ini.
Keduanya tidak akan berpisah sampai hari kiamat kelak.’ Kemudian beliau
melanjutkan, ‘Allah Azza Wajalla adalah junjunganku dan aku adalah
junjungan dan pemimpin setiap orang mukmin.’ Beliau lalu mengangkat
tangan Ali dan bersabda, ‘Sesiapa yang menjadikanku sebagai pemimpinnya,
maka Ali adalah pemimpinnya. Ya Allah, cintailah orang yang menerima
Ali sebagai pemimpin dan musuhilah orang yang memusuhinya.’” [43]
Barra` bin `Azib menukil hadis yang sama, namun dengan tambahan
kalimat berikut di awal khotbah Rasul saw, “Bukankah aku lebih berhak
atas diri orang-orang mukmin ketimbang mereka sendiri?” Orang-orang
menjawab, “Benar, wahai Rasulullah.” Beliau lalu menunjuk Ali dan
bersabda, “Barang siapa menerimaku memiliki kuasa atas dirinya, maka ia
harus menerima Ali sebagai pemimpinnya.” [44]
Di akhir hadis lain, Barra` menambahkan kalimat lain, “Umar bin
Khaththab lalu menemui Ali dan berkata, “Selamat bagimu wahai Ali,
engkau telah menjadi pemimpin pria dan wanita mukmin.” [45]
Hadis Ghadir termasuk hadis yang mutawatir dan tidak ada keraguan sekaitan dengan kesahihannya.
Kesimpulannya, Rasullah saw melakukan dua hal penting pada hari
tersebut: Salah satunya adalah menjadikan al-Quran dan Ahlulbaitnya
sebagai tempat rujukan bagi Muslimin dan berwasiat untuk mengambil
hukum-hukum syariat dari keduanya.
Yang kedua adalah mengangkat Ali as sebagai penguasa dan pemegang
kendali urusan Muslimin. Dengan begitu, beliau menyerahkan maqam wilayah
dan kepemimpinannya kepada Ali as sehingga ia akan menjadi khalifah
Muslimin sepeninggal beliau. Selanjutnya, ia akan memberlakukan hukum
dan undang-undang Islam yang dikuasainya dalam mengatur pemerintahan
Islam. [46]
Sebab itu, dalam hadis Ghadir dan hadis lainnya, Rasulullah saw telah
menyerahkan tiga dari tanggung jawab beliau, yaitu menjaga hukum agama,
menyampaikannya kepada umat dan melaksanakan undang-undang
sosial-politik kepada Ali bin Abi Thalib as yang merupakan salah satu
representasi itrah beliau.
Dari hadis Ghadir dan puluhan hadis lain, bisa disimpulkan bahwa
periode kepemimpinan Rasulullah saw tidak berakhir dengan wafatnya
beliau dan undang-undang sosial-politik Islam tidak dibiarkan tanpa
seorang pelaksana yang maksum. Bahkan, Rasul saw telah meletakkan
fondasi kepemimpinan para Imam as dengan mengangkat Imam Ali as sebagai
khalifah (pertamanya,---peny.).
Sesuai dengan wasiat Rasul saw pada masa hidupnya, Imam Ali as
mengangkat putranya Imam Hasan as sebagai penggantinya, Imam Hasan as
menentukan saudaranya sebagai pengganti dirinya dan Imam Husain as
mengangkat putranya Ali bin Husain as sebagai imam dan demikian
seterusnya hingga imam kedua belas.
Syi’ah Imamiyah meyakini bahwa para imam setelah Rasulullah saw adalah dua belas orang dari Ahlulbait as, yaitu:
1. Ali bin Abi Thalib as.
2. Hasan bin Ali as.
3. Husain bin Ali as.
4. Ali bin Husain as.
5. Muhammad bin Ali as.
6. Ja`far bin Muhammad as.
7. Musa bin Ja`far as.
8. Ali bin Musa as.
9. Muhammad bin Ali as.
10. Ali bin Muhammad as.
11. Hasan bin Ali as.
12. Al-Hujjah bin Hasan Askari as.
Imamah dan kepemimpinan dua belas orang ini telah dibuktikan dengan dalil dan argumen pada tempatnya. [47]
Masing-masing dari mereka memenuhi dua syarat penting imamah, yaitu
kemaksuman dan pengetahuan terhadap hukum syariat. Sebab itu, mereka
menjadi imam dengan diangkat langsung oleh Rasul saw atau wasiat imam
sebelumnya.
Meskipun mereka praktis tidak berkesempatan menduduki maqam
kekhalifahan-kecuali Ali bin Abi Thalib as, itupun setelah tertunda
beberapa waktu dan hanya berlangsung kurang lebih lima tahun-khilafah
adalah hak mereka yang dirampas disebabkan kebodohan dan kesalahan umat
dalam membela hak sah mereka. Kedudukan khilafah telah melenceng dari
apa yang telah digariskan Rasul saw. Muslimin bertugas untuk senantiasa
meyakini imamah Ahlulbait as dan berusaha untuk menyiapkan lahan
terwujudnya pemerintahan Islami dan berlepas diri dari pemerintahan
orang-orang zalim. Inilah yang dimaksud dengan tawalli dan tabarri.
Wilayah dalam Masa Ghaibah
Seperti yang kita ketahui dari banyak riwayat, pemegang kendali
urusan (wali al-amr) Muslimin di zaman ini adalah Imam kedua belas,
Mahdi as. Namun dikarenakan kelembekan Muslimin dalam mempersiapkan
lahan dan pengantara kemunculan serta terwujudnya pemerintahan beliau,
Imam Mahdi as gaib (ghaibah) dari pandangan kita dan menunggu waktu yang
tepat. Namun tidak berarti bahwa syariat Islam tidak lagi mementingkan
pelaksanaan undang-undang sosial-politiknya dan pembentukan pemerintahan
Islam.
halnya pada masa Rasulullah saw dan para Imam as, kaum Muslim
berkewajiban mendukung pemerintahan mereka, di masa ghaibah mereka juga
bertugas menentukan orang yang paling layak untuk dijadikan pemimpin dan
ditaati. Orang ini adalah pemegang kendali urusan umat dan wakil Imam
Zaman as. Wilayah yang dimilikinya berada setingkat di bawah wilayah
Rasul saw dan maksumin as. Namun, sehubungan dengan siapakah orang yang
paling layak dan apa syarat-syarat yang harus terpenuhi dalam dirinya,
adalah sebuah polemik yang memerlukan kajian luas. Berkaitan dengan hal
ini, ada banyak riwayat dari para Imam as yang termaktub dalam berbagai
referensi terpercaya yang bisa dimanfaatkan guna mengatasi masalah ini.
Dalam tulisan ini, tidak ada tempat untuk membahas masalah penting
ini. Untungnya, sepanjang sejarah, khususnya pasca kemenangan Revolusi
Islam, banyak kajian yang dilakukan seputar masalah ini.
Sesuatu yang bisa dikemukakan secara ringkas di sini adalah syarat-syarat kelayakan seorang pemimpin umat Islam, yaitu:
Kredibilitas ilmiah dalam mengeluarkan fatwa yang berhubungan dengan masalah fikih.
Keadilan dan ketakwaan untuk memimpin umat.
Visi sosial-politik yang benar dan skill manajemen yang bisa diandalkan dalam membimbing umat.
Keadilan dan ketakwaan untuk memimpin umat.
Visi sosial-politik yang benar dan skill manajemen yang bisa diandalkan dalam membimbing umat.
Catatan Kaki:
1. QS. ath-Thalaq:12.
2. QS. al-Mujadalah:11.
3. Bihâr al-Anwâr, 1/180.
4. Tuhaf al-`Uqul, 383.
5. Al-Kâfî 1/16.
6. QS. Yunus:101.
7. QS. al-Hajj:46.
8. QS. al-Anbiya:22.
9. QS. al-Mu`minun:91.
10. QS. asy-Syams:7-10.
11. QS. al-Anfal:29.
12. Bihâr al-Anwâr, 70/242.
13. Ghurar al-Hikâm wa Durar al-Kalam 501.
14. Bihâr al-Anwâr, 70/229.
15. Ibid 249.
16. Kabar atau berita yang tidak membuat kita yakin seratus persen—pent.
17. Al-Kâfî,1/18.
18. Ibid.,
19. QS. al-Ahzab:6.
20. Al-Bidâyah wa an-Nihâyah 5/229.
21. Ibid., 3/229.
22. Had adalah hukuman yang kualitas dan kuantitasnya telah ditentukan syariat, sedangkan ta`zîr adalah hukuman yang ditentukan oleh hakim syar`i—pent.
23. QS. an-Nisa:105.
24. QS al-Maidah:48.
25. QS. at-Taubah:73.
26. QS. al-Anfal:65.
27. QS. at-Taubah:103.
28. QS. an-Nisa:59.
29. Lihat at-Tarâtib al-Idâriyah, Syekh Abdul Haq Kitani.
30. QS. Al-Hajj:78.
31. QS. al-Baqarah:190.
32. QS. at-Taubah 36.
33. QS. al-Anfal:60.
34. QS. al-Maidah:38.
35. QS. an-Nur:2.
36. QS. Ali Imran:105.
37. QS. an-Nisa:135.
38. QS. an-Nisa:144.
39. QS. al-Maidah:55.
40. QS. Ali Imran:110.
41. Mustadarak, Hakim Nisyaburi 3/126 dan Yanâbi` al-Mawaddah 1/337.
42. QS. al-Maidah:67.
43. Mustadrak, Hakim Nisyaburi 3/119 dan al-Bidâyah wa an-Nihâyah 3/228.
44. al-Bidâyah wa an-Nihâyah 3/229.
45. Ibid.,
46. Allamah Amini, al-Ghadîr dan Ibrahim Amini, Olguha-e Fadhilat.
47. Al-Hurr al-Amili, Itsbât al-Hudât, Sayid Muhammad Hadi Milani, Qodatuna dan Ibrahim Amini, Olguha-e Fadhilat.
48. Bentuk tunggal dari kata akhlaq—pent.
1. QS. ath-Thalaq:12.
2. QS. al-Mujadalah:11.
3. Bihâr al-Anwâr, 1/180.
4. Tuhaf al-`Uqul, 383.
5. Al-Kâfî 1/16.
6. QS. Yunus:101.
7. QS. al-Hajj:46.
8. QS. al-Anbiya:22.
9. QS. al-Mu`minun:91.
10. QS. asy-Syams:7-10.
11. QS. al-Anfal:29.
12. Bihâr al-Anwâr, 70/242.
13. Ghurar al-Hikâm wa Durar al-Kalam 501.
14. Bihâr al-Anwâr, 70/229.
15. Ibid 249.
16. Kabar atau berita yang tidak membuat kita yakin seratus persen—pent.
17. Al-Kâfî,1/18.
18. Ibid.,
19. QS. al-Ahzab:6.
20. Al-Bidâyah wa an-Nihâyah 5/229.
21. Ibid., 3/229.
22. Had adalah hukuman yang kualitas dan kuantitasnya telah ditentukan syariat, sedangkan ta`zîr adalah hukuman yang ditentukan oleh hakim syar`i—pent.
23. QS. an-Nisa:105.
24. QS al-Maidah:48.
25. QS. at-Taubah:73.
26. QS. al-Anfal:65.
27. QS. at-Taubah:103.
28. QS. an-Nisa:59.
29. Lihat at-Tarâtib al-Idâriyah, Syekh Abdul Haq Kitani.
30. QS. Al-Hajj:78.
31. QS. al-Baqarah:190.
32. QS. at-Taubah 36.
33. QS. al-Anfal:60.
34. QS. al-Maidah:38.
35. QS. an-Nur:2.
36. QS. Ali Imran:105.
37. QS. an-Nisa:135.
38. QS. an-Nisa:144.
39. QS. al-Maidah:55.
40. QS. Ali Imran:110.
41. Mustadarak, Hakim Nisyaburi 3/126 dan Yanâbi` al-Mawaddah 1/337.
42. QS. al-Maidah:67.
43. Mustadrak, Hakim Nisyaburi 3/119 dan al-Bidâyah wa an-Nihâyah 3/228.
44. al-Bidâyah wa an-Nihâyah 3/229.
45. Ibid.,
46. Allamah Amini, al-Ghadîr dan Ibrahim Amini, Olguha-e Fadhilat.
47. Al-Hurr al-Amili, Itsbât al-Hudât, Sayid Muhammad Hadi Milani, Qodatuna dan Ibrahim Amini, Olguha-e Fadhilat.
48. Bentuk tunggal dari kata akhlaq—pent.