BAB 18
NABI SAW
TIDAK DAPAT MEMBERI HIDAYAH
KECUALI
DENGAN KEHENDAK ALLAH ([1])
Firman Allah Subhanahu wata’ala :
]إنك لا تهدى من أحببت ولكن
الله يهدي من يشاء وهو أعلم بالمهتدين[
“Sesungguhnya kamu (hai
Muhammad) tidak akan dapat memberi hidayah (petunjuk) kepada orang yang
kamu cintai, tetapi Allah lah yang memberi petunjuk kepada siapa saja yang
dikehendakiNya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima
petunjuk.” (QS. Al qoshosh, 56)
Diriwayatkan dalam shoheh Bukhori, dari Ibnul Musayyab, bahwa bapaknya berkata
: “Ketika Abu Tholib akan meninggal dunia, maka datanglah Rasulullah, dan pada
saat itu Abdullah bin Abi Umayyah, dan Abu Jahal ada disisinya, lalu Rasulullah
bersabda kepadanya :
"يا عم، قل لا إله
إلا الله كلمة أحاج لك بها عند الله"
“Wahai pamanku, ucapkanlah
“la ilaha illallah” kalimat yang dapat aku jadikan bukti untukmu dihadapan
Allah”.
Tetapi Abdullah bin Abi Umayyah dan Abu Jahal berkata kepada Abu Tholib :
“Apakah kamu membenci agama Abdul Muthollib ?”, kemudian Rasulullah mengulangi
sabdanya lagi, dan mereka berduapun mengulangi kata-katanya pula, maka ucapan
terakhir yang dikatakan oleh Abu Tholib adalah : bahwa ia tetap masih berada
pada agamanya Abdul Mutholib, dan dia menolak untuk mengucapkan kalimat la ilah
illallah, kemudian Rasulullah bersabda : “sungguh akan aku mintakan ampun
untukmu pada Allah, selama aku tidak dilarang”, lalu Allah menurunkan firmanNya
:
]ما
كان للنبي والذين آمنوا أن يستغفروا للمشركين[
“Tidak layak bagi seorang
Nabi serta orang-orang yang beriman memintakan ampunan (kepada Allah) bagi
orang-orang musyrik” (QS. Al bara’ah, 113).
Dan berkaitan dengan Abu Tholib, Allah menurunkan firmanNya :
]إنك
لا تهدي من أحببت ولكن الله يهدي من يشاء[
“Sesungguhnya kamu (hai
Muhammad) tak sanggup memberikan hidayah) petunjuk) kepada orang-orang yang kamu cintai, akan tetapi Allah
lah yang memberi petunjuk kepada orang yang dikehendakiNya” (QS. Al Qoshosh,
57)
Kandungan bab ini :
3. Masalah
yang sangat penting, yaitu penjelasan tentang sabda Nabi Shallallahu’alaihi
wasallam : “Ucapkanlah kalimat la ilaha illallah”, berbeda dengan apa yang
difahami oleh orang-orang yang mengaku dirinya berilmu ([4]).
4. Abu Jahal
dan kawan-kawannya mengerti maksud Rasulullah ketika beliau masuk dan berkata
kepada pamannya : “Ucapkanlah kalimat la ilah illallah”, oleh karena itu,
celakalah orang yang pemahamannya tentang asas utama Islam ini lebih rendah
dari pada Abu Jahal.
5. Kesungguhan
Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam dalam berupaya untuk mengislamkan
pamannya.
6. Bantahan
terhadap orang-orang yang mengatakan bahwa Abdul Mutholib dan leluhurnya itu
beragama Islam.
7. Permintaan
ampun Rasulullah untuk Abu Tholib tidak dikabulkan, ia tidak diampuni, bahkan
beliau dilarang memintakan ampun untuknya.
8. Bahayanya
Berkawan dengan orang-orang berpikiran dan berprilaku jahat.
9. Bahayanya
mengagung-agungkan para leluhur dan orang-orang terkemuka.
10. “Nama
besar” mereka inilah yang dijadikan oleh orang-orang jahiliyah sebagai tolok
ukur kebenaran yang mesti dianut.
11. Hadits
diatas mengandung bukti bahwa amal seseorang itu yang dianggap adalah di akhir
hidupnya, sebab jika Abu Tholib mau mengucapkan kalimat tauhid, maka pasti akan
berguna bagi dirinya di hadapan Allah.
12. Perlu
direnungkan, betapa beratnya hati orang-orang yang sesat itu untuk menerima
tauhid, karena dianggap sebagai sesuatu yang tak bisa diterima oleh akal
pikiran mereka, sebab dalam kisah diatas disebutkan bahwa mereka tidak
menyerang Abu Tholib kecuali supaya menolak untuk mengucapkan kalimat
tauhid, padahal Nabi Shallallahu’alaihi wasallam sudah berusaha semaksimal
mungkin, dan berulang kali memintanya untuk mengucapkannya. Dan karena kalimat
tauhid itu memiliki makna yang jelas dan konsekuensi yang besar, maka cukuplah
bagi mereka dengan menolak untuk mengucapkannya.
([1]) Bab ini merupakan bukti adanya kewajiban bertauhid
kepada Allah. Karena apabila Nabi Muhammad sebagai makhluk termulia dan yang
paling tinggi kedudukannya di sisi Allah, tidak dapat memberi hidayah kepada
siapapun yang beliau inginkan, maka tidak ada sembahan yang haq melainkan
Allah, yang bisa memberi hidayah kepada siapa saja yang Dia kehendaki.
([2]) Ayat ini menunjukkan bahwa hidayah
(petunjuk) untuk masuk Islam itu hanyalah di Tangan Allah saja, tidak ada
seorangpun yang dapat menjadikan seseorang menapaki jalan yang lurus ini
kecuali dengan kehendakNya, dan mengandung bantahan terhadap orang-orang yang
mempunyai kepercayaan bahwa para nabi dan wali itu dapat mendatangkan manfaat
dan menolak mudhorat, sehingga diminta untuk memberikan ampunan, menyelamatkan
diri dari kesulitan, dan untuk kepentingan-kepentingan lainnya.
([3]) Ayat ini menunjukkan tentang haramnya memintakan ampun bagi
orang-orang musyrik, dan haram pula berwala’ (mencintai, memihak dan membela)
kepada mereka.
([5])
Penjelasannya ialah : diyakini dalam hati, diucapkan dengan lisan, dan
diamalkan apa yang menjadi konsekuensinya, yaitu : memurnikan ibadah hanya
kepada Allah, dan membersihkan diri dari ibadah kepada selainNya, seperti :
malaikat, nabi, wali , kuburan, batu, pohon, dan lain lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar